
Perkawinan Pariban
(Ditinjau dari Halangan Nikah
dalam Hukum Perkawinan Katolik)
I.Pengantar
Gereja memandang perkawinan sebagai salah satu locus bersemainya Kerajaan Allah. KHK (Kitab Hukum Kanonik) mengatakan bahwa setiap orang yang tidak dilarang oleh hukum berhak untuk menikah. KHK ini mempunyai arti yaitu bahwa setiap orang pada kodratnya memiliki hak untuk menikah. Karena asal perkawinan itu berasal dari kodrat dan berkarakter baik dan manusiawi, maka agar perkawinan itu tetap menampilkan citra dan hakekat kebaikannya, Gereja memformulasikan perkawinan yang sesuai dengan kodrat perkawinan itu.
Perkawinan pariban dapat disebut sebagai perkawinan hubungan darah atau incest. Pada dasarnya perkawinan incest dalam garis lurus dan menyamping kedua tidak dapat didispensasi dalam keadaan biasa, tetapi perkawinan pariban dapat didispensasi dalam keadaan biasa. Perkawinan pariban ini merupakan perkawinan ideal orang Batak Toba. Dalam tulisan ini, akan dibahas alasan-alasan logis Gereja memberikan dispensasi terhadap perkawinan pariban.
II. Hal-hal penting
Untuk dapat memahami perkawinan pariban dalam masyarakat Batak Toba, kita perlu memahami asal-usul, dalihan natolu, prinsip dan tujuan hidup dan sistem perkawinan dalam Batak Toba. Hal ini akan memudahkan kita untuk memahami perkawinan pariban tersebut.
1) Asal-usul orang Batak Toba Toba
Asal-usul orang Batak Toba masih sebatas dugaan. Para ahli/sarjana Batak Toba belum memiliki kesepakatan tentang asal-usul tersebut. Bungaran Simanjuntak adalah seorang ahli antropologi Batak Toba masih menyadarkan pemikirannya tentang asal-usul Batak Toba dari Harahap. Bapak Simanjuntak melalui tulisan Harahap mengatakan bahwa orang Batak Toba berasal dari dua tempat yaitu:[1]
Pertama: dari utara (tidak dijelaskan utara yang mana). Dari utara tersebut pindah ke Filipina menuju Sulawesi Selatan dan menurunkan orang Bugis dan Makasar. Selanjutnya perjalanan ini sampai ke Lampung bagian Sumatera Selatan dan pada akhirnya berlabuh di daerah Barus.
Kedua : berasal dari India dan imigrasi ke Burma dan berlanjut ke Malasia. Perjalanan tersebut berlanjut sampai ke Tanjung Balai dan dalam perjalanan waktu sampai di Danau Toba. Setelah sampai di Danau Toba, perjalanan nenek moyang tersebut berlanjut ke Aceh, mendarat di Barus
2) Dalihan na Tolu
Untuk memahami perkawinan orang Batak Toba, kita dituntut memahami pengertian Dalihan na Tolu (Tungku nan Tiga). Dalihan na Tolu adalah suatu kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan suatu kelompok kekerabatan yang terdiri dari laki-laki yang seketurunan dengan pada satu pihak, laki-laki yang seketurunan yang telah mengawinkan anak perempuannya dengan laki-laki yang berasal dari kelompok kekerabatan pertama tersebut.[2]
Dalihan na Tolu tersebut adalah:[3]
- Hula-hula yaitu kelompok kekerabatan yang berada di atas karena mereka diyakini marga pihak isteri sebagai sumber berkat yang mengalirkan rahmat kesejahteraan dan keselamatan.
2. Dongan tubu atau sanina, yaitu kelompok orang-orang yang posisinya “sejajar”, yaitu: teman/saudara semarga sehingga disebut manat mardongan tubu, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan.
3. Boru yaitu kelompok orang orang yang posisinya “di bawah”, yaitu saudara perempuan kita dan pihak marga suaminya, keluarga perempuan pihak ayah. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari disebut elek marboru artinya agar selalu saling mengasihi supaya mendapat berkat.
Dalihan na Tolu ini tidak bersifat statis tetapi bersifat fleksibel. Setiap orang Batak Toba akan mendapat posisi tersebut sesuai dengan waktu dan keadaan. Dalam keadaan tertentu seseorang dihormati sebagai hula-hula tetapi dalam keadaan lainnya dia akan dihormati sebagai boru maupun dongan tubu.
3) Prinsip dan tujuan hidup orang Batak Toba Toba
Sebagaimana Allah menciptakan manusia baik adanya (bdk. Kej 1: 26-27), hal ini mengarah pada pemahaman bahwa manusia memiliki keterarahan pada kebaikan yang telah ditanamkan Allah dalam jiwa dan pikiran manusia. Thomas Hobbes mengatakan bahwa manusia selalu terarah pada keteraturan hidup bersama. Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah prinsip dan tujuan hidup[4]. Prinsip hidup orang Batak Toba yaitu: hagabeon (keturunan), hamoraon (kekayaan) dan hasangapon (kehormatan).
Namun sesudah agama Kristen hadir di daerah Tapanuli, prinsip dan tujuan hidup tersebut disempurnakan melalui dua prinsip tambahan yaitu hadamaeon (perdamaian) dan hasadaon (kesatuan).[5]Kedua prinsip itu diposisikan sebagai bagian dari tujuan hidup orang Batak Toba didasari atas sikap orang Batak Toba dan suku-suku lainnya salah memahami ketiga prinsip yang pertama tersebut sehingga menjadi pemicu konflik baik dalam diri keluarga maupun di luar kekerabatan. Setiap orang baik sebelum maupun sesudah pernikahan dituntut untuk mendapatkan hamoraon (kekayaan) dan hasangapon (kehormatan). Menurut saya, hamoraon (kekayaan) dan hasangapon (kehormatan) tidak boleh diartikan secara literer atau harafiah. Maknanya yang lebih dalam akan kita pahami bila kita meninjaunya dalam dua sisi yaitu religius dan filsafat.
Makna hamoraon(kekayaan) bila ditinjau secara secara religius, adalah setiap individu dituntut untuk mengembangkan seluruh kemampuannya agar dapat mendayagunakan alam, ciptaan demi kebaikan dan perkembangan hidup manusia menuju kepada kebaikan yang sejati. (bdk. Kej 1: 26, Mat. 25: 14-30). Dan nilai filosofis yaitu setiap individu dituntut untuk mendayagunakan kemampuan akal budinya sampai batas kemampuannya.[6] Dan
Demikian juga makna prinsip hasangapon berkaitan erat dengan nama baik dan jati diri. Nilai religiusnya adalah setiap individu harus mendasarkan hidupnya pada prinsip cinta kasih. Hasangapon (kehormatan) terletak pada kemampuan setiap individu untuk mencintai orang lain sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri (bdk. Kel. 20: 12-17, Mat. 22: 34-40). Mengenai hal ini diungkapkan juga dalam sebuah peribahasa Batak Toba”niarit tarugi, niarit pora-pora, molo tinean uli teaon dohot gora” artinya hormat ditentukan oleh sikap baik individu tersebut.[7] Nilai filosofinya adalah setiap orang ditutuntut untuk mengarahkan kebebasannya[8] dan tanggungjawabnya pada sikap yang tidak merugikan diri sendiri, sesama dan lingkungan. Hal ini juga dipertegas dalam filsafat Cina yang mempopulerkan Chieng Ming artinya hiduplah sesuai nama dan jabatan.
4) Perkawinan Orang Batak Toba Toba
Salah satu prinsip orang Batak Toba adalah hagabeon (keturunan). Pada dasarnya sebuh prinsip bersifat niscaya. Oleh sebab itu setiap orang Batak Toba dintutut untuk memperoleh keturunan.[9]Memperoleh keturuan identik dengan memperoleh berkat (pasu-pasu). Oleh sebab itu setiap orang Batak Toba yang telah menikah selalu berharap dan memohohon kepada Tuhan (Debata Na Mula jadi Na bolon) agar seseorang tersebut mendapat keturunan. Hal ini dapat kita ketahui melalui peribahasa (umpama)”tubuan laklakma, tubuan singkoru, sai tubuan anakma hamu tubuan boru.”[10] Peribahasa (umpama) tersebut sering diungkapakan dalam acara adat perkawinan maupun saat penerimaan Sakaramen Perkawinan (Pasu-pasu).
Menurut Bapak Bungaran Simanjuntak, perkawinan pariban maupun perkawinan model yang lain[11] bertujuan untuk mendapatkan banyak sumber saya manusia. Dengan banyaknya anak maka banyak pula tenaga kerja yang dapat menggarap lahan sawah, ladang dan kebun. Dengan demikian kekayaanpun akan tercapai. Memiliki banyak anak juga akan menambah pasukan untuk menjaga keamanan harta benda. Tenaga pasukan inilah yang akan menimbulkan keseganan pada pihak lawan.[12] Menurut saya pendapat Bapak Bungaran Simanjuntak tersebut kurang lengkap karena tidak dilengkapi alasan-alasan dan motivasi-motivasi transendental pernikahan pariban atau model pernikahan lainnya. Apakah ini urusan filsafat agama atau ketuhanan, menurut saya antropolog juga menggumuli dan menganalisa kecenderungan relasi subjektif suatu kelompok terhadap hal-hal yang sifatnya transendental atau absolut.[13]
III. Mengapa perkawinan pariban didispensasi?[14]
Kanon 85 menegaskan bahwa pelonggaran atau dispensasi daya wajib suatu norma hanya dapat diberikan pada undang-undang yang sifatnya semata-mata gerejawi. Demikian juga perkawinan pariban dapat didispensasi oleh Gereja karena halangan itu semata-mata aturan gerejawi. Suatu hukum yang bersifat gerejawi karena hal itu bersumber dari kebijakan gereja yang didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang wajar, logis atau masuk akal. [15]
Selanjutnya Gereja memberi dispensasi terhadap perkawinan pariban karena Gereja Keuskupan Agung Medan, Keuskupan Padang, Keuskupan Sibolga menghargai nilai-nilai luhur dalam budaya Batak Toba. Di ketiga keuskupan tersebut, kasus perkawinan ini dipersoalkan dan ditangani secara serius. Suku Batak Toba menyakini bahwa perkawinan pariban merupakan perkawinan ideal yang mampu mewujudkan semakin kuatnya kesatuan dan aliran cinta kasih dalam pihak saudara ibu dan saudari ayah. Karena yang menikah adalah putra saudari ayah dengan putri saudara ibu. Halangan yang tidak dapat didispensasi adalah halangan yang bersumber dari hukum ilahi, maupun hukum ilahi positif.
III.a. Cara untuk mendapatkan dispensasi perkawinan
Sebagai persekutuan Umat Allah, sangat diharapkan suatu situasi dimana gembala mengenal domba gembalaannya. Demikian juga domba harus mengenal gembalanya. Hal ini bertujuan agar gembala mengenal situasi umatnya dan umat atau domba bekerjasama dengan gembala untuk menyelesaikan permasalahan umatnya. Demikian juga gembala harus mengetahui domba-domba yang layak untuk mendapat dispensasi dari halangan-halangannya dan umat yang tidak berhak mendapatkannya.
Pada dasarnya dipensasi perkawinan atau dispensasi lainnya hanya dapat diberikan oleh ordinaris setempat yaitu Uskup, Vikjen, Vikep. Vikjen dan Vikep tidak boleh memberikan dispensasi yang selues-luesnya bila hal itu tidak diijinkan oleh uskup. Vikjen dan Vikep adalah pihak yang membantu uskup dalam menyelesaikan permasalahan pastoralnya. Gereja memberikan dispensasi perkawinan pariban hanyalah bagi mereka yang telah dibabtis. Karena setiap orang yang dibabtis dan beragama Katolik harus tunduk di bawah hukum Gereja Katolik. Perkawinan pariban tidak dapat didispensasi oleh imam dalam keadaan biasa tetapi oleh uskup setempat. Dengan kata lain, dispensasi perkawinan pariban hanya dapat diberikan oleh Uskup dalam keadaan biasa. Imam memiliki kuasa mendispensasi dijelaskan dan dituliskan dalam Kanon 1071, 1-7.
Gereja memberikan dispensasi atas sebuah halangan didasari dari alasan-alasan yang wajar dan masuk akal. Hal ini dapat kita lihat yaitu perbandingan dampak yang diakibatkan oleh perkawinan incest dalam garis lurus dan garis menyamping.
III.b.Dampak minimal yang diakibatkannya
Perkawinan pariban adalah perkawinan yang terjadi antara putra saudari ayah dengan putri saudara ibu. Perkawinan ini disebut juga dengan perkawinan marboruni tulang. Tulang adalah panggilan kekerabatan anak saudari ayah terhadap ayah. Perkawinan ini dikategorikan sebagai perkawinan menyamping garis keempat.[16]
Perkawinan pariban masuk juga dalam kategori perkawinan incest, atau perkawinan hubungan darah, tetapi perkawinan ini bukanlah perakawinan garis keturunan lurus atau garis keturunan menyamping tingkat kedua atau ketiga yang sering ditabukan orang. Kanon 1091, 1 mengatakan “ tidak sahlah perkawinan antara orang-orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah baik secara legitim maupun secara alami.” Perkawinan darah dalam garis keturunan ke atas dilakukan antara orangtua dengan anaknya (ayah dengan anak putrinya, ibu dengan anak putranya). Pada dasarnya perkawinan ini sangat tabu dalam kebanyakan masyarakat. Hal ini dapat kita lihat dalam tata Perundang-undangan Perkawinan Indonesia, No. I Tahun 1974 yang mengatakan larangan terhadap:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Pada dasarnya Gereja melarang perkawinan garis keturunan lurus dan menyamping sampai tingkat keempat. Gereja tidak pernah memberikan dispensasi dalam keadaan biasa terhadap perkawinan garis keturunan lurus dan menyamping tingkat kedua dan ketiga karena efek atau akibat yang ditimbulkannya sangat berat baik kepada diri sendiri, keturunannya, keluarga dan lingkungan. Keuskupan Aung Medan, Keuskupan Padang, Keuskupan Sibolga, Gereja Katolik di tiga keuskupan tersebut memberikan dispensasi perkawinan pariban atau perkawinan garis menyamping tahap keempat.
Gereja menetapkan halangan hubungan darah tidak bermaksud untuk mencabut hak kodrat dalam diri manusia. Karena pada hakikatnya setiap orang dari kodratnya memiliki hak untuk menikah. Hak untuk menikah tidak bermaksud bahwa setiap orang berhak untuk menikah berkali-kali atau tanpa aturan. Gereja menyadari bahwa perkawinan itu pada dasarnya baik karena berasal dari Allah. kekhasan perkawinan Katolik dengan perkawinan agama lain adalah bahwa agama Katolik menempatkan perkawinan sebagai Sakramen sedangkan agama Islam dan Kristen menempatkan perkawinan sebagai sesuatu yang sifatnya perkara manusiawi semata.
Oleh sebab itu agar perkawinan tersebut tetap mencerminkan kebaikan Allah yang diwujudkan dalam kemanusiaan atau ciptaannya, maka gereja menetapkan aturan formal perkawinan. Tujuan Gereja menetapkan itu adalah untuk melindungi dan memperjuangkan nilai-nilai moral yang sangat besar dan mendasar. Pada dasarnya hubungan incest berakibat pada buruk pada kesehatan fisik, psikologis, mental dan intelektual.[17]
III.c. Perbandingan dampak perkawinan incest dalam garis keturunan ke atas dan garis menyamping tingkat keempat secara khusus perkawinan pariban.
- Kesehatan
Dr. Boyke mengatakan bahwa perkawinan incest membawa akibat pada kesehatan fisik yang sangat berat. Selanjutnya dia mengatakan bahwa memperbesar kemungkinan anak cacat adalah perkawinan hubungan darah, baik yang bersifat gasir lurus maupun menyamping. Penyakit-penyakit dari perkawinan hubungan darah seperti: talasemia, hermopilia, dsb. Tetapi hal ini bisa dihindari bila kita berkosultasi dengan ahli genetika. Pada dasarnya ahli genetika akan memberikan solusi atau cara mengatasi lahirnya anak cacat dari perkawinan sepupu.[18] Tetapi manipulasi genetika juga tidak dapat memastikan terhindarnya lahirnya anak cacat.
Dr. Ramonasari mengatakan ”Tidak setiap pernikahan incest akan melahirkan keturunan yang memiliki kelainan atau gangguan kesehatan. Jadi detilnya seperti ini, bisa saja gen-gen yang diturunkan baik dan melahirkan anak yang normal. Walaupun begitu, kelemahan genetik lebih berpeluang muncul dan riwayat genetik yang buruk akan bertambah dominan serta banyak muncul ketika lahir dari orang tua yang memiliki kedekatan keturunan. Pada kasus incest, penyakit resesif yang muncul dominan. Namun gangguan emosional juga bisa timbul bila perlakuan buruk terjadi saat pertumbuhan dan perkembangan janin pra dan pasca kelahiran.
Apabila terjadi kelahiran, anak perempuan lebih rentan dan berpeluang besar terhadap penyakit genetik yang diturunkan orangtuanya. Incest memiliki alasan lebih besar yang patut dipertimbangkan dari kesehatan medis. Banyak penyakit genetik yang berpeluang muncul lebih besar. Sebut saja pada genetik, kromosom yang mengalami gangguan kesehatan jiwa (skizoprenia), Leukodystrophie atau kelainan pada bagian saraf yang disebut milin, ada bagian dari jaringan penunjang pada otak yang mengalami gangguan yang menyebabkan proses pembentukan enzim terganggu. Selain itu albino (kelainan pada pigmen kulit) dan keterlambatan mental (idiot) serta perkembangan otak yang lemah. Banyak penyakit keturunan yang akan semakin kuat dilahirkan pada pasangan yang memiliki riwayat genetik buruk dan terjadi incest. Namun, yang harus diwaspadai juga kecacatan kelahiran bisa muncul akibat ketegangan saat ibu mengandung dan adanya rasa penolakan secara emosional dari ibu.[19]
Tetapi efek/dampak perkawinan incest yang dilakukan oleh saudara/i kandung tidak seberat yang dialami oleh mereka yang melakukan perkawinan pariban. Perkawinan pariban dilakukan oleh saudara sepupu tetapi hal yang pasti adalah bahwa perkawinan pariban juga memberikan peluang lahirnya anak cacat tetapi peluangnya jauh lebih kecil.
- Dampak pada anak
Jika hal ini terjadi maka anak akan mendapat beban yang yang sangat berat pada usia dewasa maupun pada seluruh hidupnya. Cacat fisik yang dialami anak dapat berakibat pada pandangannya terhadap dunia, manusia dan Allah. Dalam tataran berelasi biasanya anak cacat memiliki inferioritas yang tinggi sehingga anak cacat sering tidak merasa nyaman dalam lingkungan sosial dimana individu-individu sekelilingnya sehat secara fisik. Orang cenderung memaknai cacat bawaan sebagai kutukan dari Allah. Orang tidak melihat hal itu sebagai akibat genetik perkawinan hubungan darah dalam garis keuturunan lurus atau menyamping. .
Cacat fisik ini tidak berakibat jangka pendek tetapi jangka panjang. Selain anak cacat memiliki inferioritas tinggi dalam kehidupannya, cacat fisik ini juga dapat berdampak pada niat-niat perkawinannya. Perkawinan secara langsung (pada garis lurus dan garis menyimpang tingkat kedua) dapat mengakibatkan impotensi dalam diri anak. Jika dia mau melangsungkan perkawinan maka cacat fisik (impotensi) tersebut akan menjadi faktor tidak sahnya perkawinan yang dilangsungkan. Perkawinan pada dasarnya melanggengkan persetubuhan antara suami-isteri yang dari sendirinya terbuka untuk kelahiran anak (kanon 1061, 1). Dengan demikian impotensi merupakan perkawinan yang tidak sah dari kodratnya (Kanon 1084, 1).
Perkawinan Pariban
Perkawinan pariban tetap digolongkan sebagai perkawinan incest. Seperti yang dikatakan oleh Dr. Boyke dan Ramonasari bahwa perkawinan incest tetap memberi peluang atas munculnya berbagai penyakit genetik terhadap keturunannya. Tetapi kalau kita mencari minus malum terhadap perkawinan incest ini, peluang yang paling besar untuk memunculkan penyakit genetik adalah perkawinan dalam garis keturunan lurus dan menyamping pada tingkat dua dan tiga. Hal ini berkaitan dengan soal kedekatan hubungan darah.
Hubungan darah perkawinan pariban adalah perkawinan antara anak sepupu dengan kata lain hubungan genetik mereka berasal dari orang tua mereka atau tidak secara langsung. Sedangkan perkawinan dalam garis keturunan lurus seperti ibu dengan putranya atau ayah dengan putrinya. Resiko yang diakibatkan jauh lebih besar/parah. Hal ini terjadi karena antara ayah dengan putrinya masih memiliki hubungan darah garis lurus. Darah anak berasal diasalkan dari darah orangtuanya. Sehingga perkawinan sedarah ini akan memberikan peluang penyakit genetik.
Gereja memberi dispensasi terhadap perkawinan pariban ini selain menghargai budaya Batak Toba juga berkaitan dengan minus malum yang diakibatkannya. Dimana perkawinan pariban akan memberikan peluang yang lebih kecil munculnya penyakit genetika bila dibandingkan dengan perkawinan garis keturunan lurus maupun garis menyamping tingkat kedua dan ketiga. Pada dasarnya Gereja Katolik ketat pada aturannya tetapi Gereja Katolik selalu mencari jalan keluar terhadap masalah-masalah yang dihadapi umatnya, selagi masalah-masalah tersebut dapat diselesaikan oleh hukum Gerejawi. Tindakan manusiawi Gereja Katolik ini tidak bermaksud untuk memperingan masalah-masalah berat dan mempersulit masalah-masalah ringan.
Pada dasarnya Kitab Hukum Kanonik hanya mengenal halangan yang sifatnya menggagalkan (impedimenta dirimentes). Hal ini secara jelas diungkapkan dalam Kanon 1073” halangan yang menggagalkan membuat seseorang tidak mampu untuk menikah secara sah. Gereja memberikan dispensasi terhadap perkawinan pariban ini karena perkawinan pariban tidak memiliki halangan yang menggagalkan. Seperti yang dijelaskan bahwa perkawinan pariban didispensasi karena efek yang diakibatkan oleh perkawinan incest melalui saudara sepupu atau pariban tidak seberat/separah yang diakibatkan oleh perkawinan dalam garis keturunan lurus dan menyamping tingkat kedua dan ketiga.
Halangan-halangan nikah yang bersifat menggagalkan dituliskan dalam KHK 1083-1094. diantaranya: halangan umur, impotensi, ikatan perkawinan sebelumnya, beda agama, selibat atau tahbisan suci, penculikan kriminal, hubungan darah, semenda, kelayakan publik, peratalian hukum. Yang menjadi objek halangan ialah situasi dan kondisi obejektif seseorang yang berdasarkan hukum ilahi membuatnya tidak mampu untuk menikah.[20]
- Intelektual
Perkawinan incest secara langsung memberi peluang yang besar dimana anak yang dilahirkan olehnya memiliki penurunan intelektual. Intelektual berkaitan dengan ratio. Ratio adalah bagian tubuh yang memampukan seseorang dapat mendistingsi realita. Setiap manusia dituntut untuk mendayagunakan rationya seoptimal mungkin, agar individu yang bersangkutan dapat mengolah dan merawat dunia ini karena Tuhan telah memberikannya (bdk. Kej. 1: 26), dan dapat melakukan hal-hal yang baik demi kesejahteraan seluruh umat manusia dan alam ciptaanNya. Melalui ratio juga individu dapat memperjuangkan kebenaran di dunia ini (Kanon 748, 1).
Perkawinan incest besar kemungkinan untuk menghasilkan anak idiot. Hal ini juga berdampak pada pernikahan bila dia bercita-cita untuk menikah. Pada dasarnya Gereja tidak menggangap sah suatu perkawinan nikah bila hal itu dilakukan oleh orang idiot.
Perkawinan yang sah menuntut penggunaan akal budi yng secukupnya (Kanon 1095, 1). Akal budi yang secukupnya sangat diperlukan karena melalui akal budi dapat lahir suatu keputusan kehendak untuk untuk melakukan tindakan manusiawi (actus humanus, human act) yang sadar dan bebas.[21] Jikalau akal budi tidak mencukupinya maka tidak akan lahir dan terwujud relasi interpersonal suami-isteri yang diwujudkan dalam sebuah perjanjian timbal balik[22] dan besar kemungkinan perkawinan sebagai institusi natural yang berakar dalam hakikat manusia dan bersumber daricinta kasih Allah, tidak terwujud (Kanon 1055, 1).
Perkawinan pariban
Efek intelektual yang diakibatkan perkawinan pariban ini berkaitan erat dengan alasan pada bagian kesehatan. Gereja memberikan dispensasi terhadap perkawinan pariban selain menghormati budaya Batak Toba, Gereja berusaha mencari dan meneliti minus malum yang diakibatkannya bila dikaitkan dengan perkawinan garis keturunan lurus dan garis keturunan menyamping tingkat dua dan tiga. Perkawinan pariban akan memberikan dampak yang lebih kecil bila dibandingkan dengan perkawinan garis keturunan lurus dan garis keturunan menyamping. Hal ini berkaitan dengan kontak genetika secara langsung. Efek genetika dalam perkawinan ibu dengan putranya atau ayah dengan putrinya lebih besar bila dibadingkan dengan efek yang ditimbulkan perkawinan sepupu. Perkawinan pariban atau sepupu lebih kecil menghasilkan dampak genetik karena keterjalinan hubungan darah mereka terjadi secara tidak langsung.
- Psikologis
Dampak psikologis dari perkawinan incest garis lurus dan menyamping tingkat kedua, sangat berbahaya baik terhadap diri sendiri, anak, keluarga maupun masyarakat. Kebanyakan budaya tetap memandang tabu atau pantang melakukan perkawinan incest garis lurus dan menyamping tingkat kedua maupun ketiga. Agama Katolik secara tegas memandang perkawinan ini sangat tabu karena didasari dari hukum ilahi sehingga tidak dapat didispensasi dari pihak manapun dalam keadaan biasa.[23] Hati nurani yang tidak tumpul akan selalu mengarahkan setiap individu untuk mendistingsi bahwa perkawinan incest garis lurus dan garis meyamping tahap kedua, ketiga merupakan sesuatu yang tabu. Pada dasarnya perkawinan antara saudara sepupu tidak begitu dianggap tabu karena mendapat legitimasi dari masyarakat maupun suku.
Biasanya individu yang melakukan perkawinan incest pada garis lurus dan menyimpang pada tahap kedua dan ketiga, individu yang bersangkutan akan merasa bersalah karena dia sendiri menyadari bahwa perkawinan tersebut dilarang oleh budaya dan agamanya. Rasa bersalah yang terus menerus akan memberikan peluang tidak terwujudnya perkawinan yang mewujudkan kesejahteraan suami-isteri, anak dan pendidikan anak (Kanon 1055,1).
· Dampak pada anak
Perkawinan incest ini juga akan berdampak pada perkembangan psikologis anak. Dalam lingkungan sosial, anak akan mendapat tekanan psikologis karena kehadirannya tidak berasal dari logika kenormalan/kewajaran perkawinan. Tekanan psikoligs ini akan terasa, ketika anak berada di lingkungan Batak Toba. Seperti yang telah dijelaskan dalam bagian-bagian awal paper ini, suku Batak Toba melarang anggotanya untuk melakukan incest pada garis lurus dan menyimpang sampai pada tingkat kedua. Perkawinan tersebut dilarang karena hal itu akan merumitkan sistem kekerabatan. Perkawinan harus berlangsung di luar marga (eksogami). Perkawinan yang ideal adalah perkawinan pariban.
Perkawinan garis lurus dan menyamping sampai tahap kedua dilarang karena akan merumitkan partuturan atau sistem relasi sosial. Sebagai contoh perkawinan antara saudara dan saudari kandung. Dalam bahasa prokem ada ungkapan “jeruk makan jeruk” jika hal itu terjadi maka akan terasa hambar dan aneh. Filsuf Anaxagoras mengatakan bahwa dunia berlangsung dalam sistem yang saling berlawanan seperti adanya: siang-malam, merah-putih, ganteng-jelek, baik-buruk, dsb. Hal ini berlaku dalam budaya Batak Toba yang dikonkritkan dalam perkawinan yang berlangsung antara marga yang berbeda.
Setiap individu harus memiliki status (status yang dimaksud bukan status kasta yang tetap seumur hidup, tetapi kedudukan yang fleksibel yaitu kedudukan yang dapat berubah sesuai dengan situasi dan keadaan). Status tersebut harus berbeda. Kata “harus” merujuk pada keniscayaan atau bersifat mengikat. Oleh sebab itu agar status tersebut berubah, perkawinan harus berlangsung antara marga yang berbeda.
Perempuan diperoleh dari saudara ibu, bagi pihak keluarga saudari ayah, pihak pemberi perempuan tersebut dipandang sebagai sumber berkat dan disebut dengan hula-hula karena mereka telah memberikan berkat bagi pihak saudari ayah berupa kehadiran seorang perempuan. Sedangkan pihak penerima perempuan, bagi saudara ibu dipandang sebagai boru yaitu pihak yang akan merawat dan menjaga kelangsungan hidup anak perempuan mereka. Perbedaan tersebut menuntut agar dalam tata hidup bersama cara bertutur atau berelasi diatur oleh sistem kekerabatan tersebut atau tidak sama rata meskipun partuturan itu insenya atau hakekatnya mengarah pada perwujudan keharomonisan, keteraturan, dsb. Jika terjadi perkawinan antara saudara-saudari kandung maka perkawinan tersebut akan menghasilkan sistem kekerabatan yang bersifat statis atau tidak ada dinamika relasi.
Perkawinan pariban
Dampak yang psikologis yang diakibatkan perkawinan pariban sangat minim. Karena perkawinan pariban ini mendapat legitimasi dari masyarakat. Perkawinan yang ideal dalam suku Batak Toba adalah perkawinan Pariban. Perkawinan Pariban adalah perkawinan antara putri saudara ibu dengan putra saudara ayah. Sistem ini sering juga disebut dengan marboru ni tulang atau manunduti. Seperti yang telah dijelaskan di atas tentang dalihan na tolu yang terdiri atas tiga tingkatan kekerabatan yaitu hula-hula (keluarga asal istri dan diyakini sebagai sumber berkat), dongan tubu (keluarga semarga) dan boru (saudari ayah).
Ketika ayah (saudara ibu) menikah dengan putri di luar marganya demikian juga saudari ayah maka posisi saudara ibu adalah sebagai hula-hula bagi saudari ayah dan saudari ayah sebagai boru. Hal ini terjadi karena prinsip perkawinan orang Batak Toba adalah perkawinan yang di luar marga (eksogami). Jadi perkawinan putra saudari ayah dengan putri saudari ibu adalah perkawinan di luar marga, karena pewaris marga adalah laki-laki yaitu saudara ibu, sehingga seluruh keturunan ayah (saudara ibu) mengikuti marga ayah. Sedangkan ibu tidak berhak mewariskan marganya kepada keturunannya.
Hal ini terjadi karena sistem perkawinan orang Batak Toba adalah patrilineal (mengikuti garis keturunan ayah). Sehingga menurut orang Batak Toba, perkawinan putri saudara ibu dengan putra saudari ayah bukanlah perkawinan yang salah karena anak mereka tidak memiliki marga yang sama. Perkawinan yang melanggar tata kekerabatan adalah bila perkawinan itu berlangsung antara hula-hula dengan hula-hula, dongan tubu dengan dongan tubu, anak dari boru dengan anak dari boru. Bila hal ini terjadi maka terjadilah penjunggirbalikan hubungan affina (marsungsung partuturan)[24]
Alasan-alasan Perkawinan Pariban atau Manunduti
- Agar terwujud kesinambungan relasi antara keluarga. Perkawinan putri saudara ibu dengan putra saudari ayah dengan sendirinya akan mempererat relasi mereka.
- Selain relasi mereka disatukan oleh pertalian kakak adik antara ayah dan adik putri ayah, relasi mereka juga semakin diperkuat dengan perkawinan putri saudara ibu dan putra saudari ayah. Kedekatan partuturan[25] atau kekerabatan antara keturunan saudara ibu dan saudari ayah sebagai berikut: sebelum perkawinan putri saudara ibu dengan dengan putra saudari ayah, saudari ayah memanggil putri saudara ibu dengan maen (suatu ungkapan sayang terhadap anak saudara ibu). Tetapi sesudah putri saudara ibu menikah dengan putra saudari ayah, saudari ayah akan memanggil putri saudara ibu tersebut dengan parumaen (suatu ungkapan atau sapaan terhadap istri dari anak saudari ayah).
Demikian juga sebelum pernikahan putri saudari ayah dipanggil saudara ibu dengan bere (ibebere). Dan putra saudari ayah memanggil saudara ibu dengan sebutan tulang. Tetapi sesudah terjadi pernikahan, saudara ibu akan memanggil putra saudari ayah dengan hela (sebutan bagi menantu laki-laki). Dengan demikian terjadilah penguatan kekerabatan ganda[26] antara ayah dan saudari ayah. Kedekatan relasi ini diharapkan juga akan semakin terciptanya keharmonisan dalam keluarga tersebut. [27]
- Sejarah awal perkawinan pariban ini sangat erat kaitannya dengan masalah kekayaan. Dahulu kala, jikalau saudara ibu maupun saudari ayah memiliki kekayaan maka mereka berusaha mempertahankan kekayaan mereka agar tidak dimiliki oleh pihak keluarga marga lain tetapi oleh keluarga dekat. Oleh sebab itu mereka berusaha membujuk bahkan memaksa agar putra saudari ayah menikah dengan putri saudara ibu mereka untuk menikah. Kekayaan dipandang sebagai penentu harga diri atau kehormatan (hasangapon) dan sesuatu yang sulit didapatkan. Banyak orang yang bekerja keras untuk memperoleh kekayaan tetapi tidak semua orang berhasil memperolehnya.
- Dalam hubungan melamar, marhata sinamot (membahas besaran mas kawin), sampai pada unjuk (pesta perkawinan) pasti akan lebih lancar, malahan pelaksanaan melamar dan marhata sinamot pun sangat mudah seperti bilamana bukan “marpariban”. Biasanya tawar menawar besarannya sinamot (mas kawin) sudah tidak dilakukan lagi, kalaupun dilakukan hanya dengan cara gembira-ria, sekedar memenuhi ketentuan adat, cukup satu dua kali bertemu atau berbicara adapt, sekedar rasa hormat menghormati masing-masing pihak. Seberapun sinamotnya (mas kawin) yang diserahkan oleh pihak hula-hula (pemilik putra/saudarai ayah[28]) akan diterima oleh pihak parboru (pemilik calon istri dari putra saudara ibu). Biasanya peribahasa (umpama) yang diungkapkan pihak paranak/hula-hula (keluarga saudari ayah) pada acara ini adalah: Ndang songon imbulu nisuanhon, huling-huling nilangkophon.” Artinya bahwa anak mereka tidak menikah dengan orang luar tetapi antara putra saudari ayah dengan putri saudari ibu.
Gereja memberi dispensasi terhadap perkawinan pariban ini karena perkawinan ini tidak mengakibatkan efek psikologis bagi pelaku maupun anak yang akan dihasilkannya. Memang Gereja sangat mengharapkan agar perkawinan pariban di dasari atas cinta yang utuh dan bulat antara kedua mempelai dengan kata lain Gereja selalu menghindari adanya unsur paksaan. Gereja sendiri mengatakan bahwa tidak sah perkawinan yang dilaksanakan atas dasar motivasi dan tidak memiliki kehendak bebas. Kanon 1057, 1 mengatakan bahwa kesepakatan antara orang-orang yang menurut hukum dan yang dinyatakan secara legitim, membuat perkawinan; kesepakatan tidak dapat diganti oleh kuasa manusiawi manapun.
Oleh sebab itu perkawinan pariban memiliki keabsahannya dengan suatu pengandaian bahwa pastor paroki telah menyelidiki keutuhan cinta yang dimiliki oleh kedua calon mempelai baik melalui pemeriksaan kanonik atau informasi-informasi luar. Pada awalnya perkawinan pariban ini dipaksakan agar dilakukan keturunannya. Tetapi unsur paksaan ini sudah mulai hilang ketika agama Kristen menjadi bahagian dari kehidupan orang Batak Toba Toba. Sekarang ini keuskupan Medan, Sibolga, Padang hanya memberikan dispensasi perkawinan pariban ini bagi pasangan yang mendasarkan perkawinannya atas dasar cinta bukan paksaan. Oleh sebab itu gereja Katolik di Keuskupan Agung Medan, Sibolga, Padang selalu meneliti dengan hati-hati perkawinan pariban ini.
IV. Sifat-sifat hakiki perkawinan Pariban
- Kesatuan (unity) atau monogami
Pada jaman dahulu, dari tahun 1910-1975, perkawinan poligami masih dianggap sebagai perkawinan yang menaikkah harga dan martabat manusia. Alasan lain perkawinan poligami adalah tidak mendapatkan anak laki-laki dari isteri pertama. Anak laki-laki adalah anak yang sangat diharapkan sebagai buah dari perkawinan. Tetapi jika kita mulai tilik sampai sekarang, perkawinan marimbang (pologami) dipandang sebagai perkawinan amoral. Perkawinan poligami atau marimbang dipandang sebagai usaha merendahkan martabat pemberi boru (perempuan). Perkawinan pariban merupakan perkawinan yang bertujuan untuk mewujudkan keteraturan dan kerukunan[29] dalam keluarga. Ketika perkawinan pariban ini telah berlangsung, biasanya masing-masing pihak baik dari pihak keluarga saudara ibu dan saudari ayah selalu berusaha menjaga keteraturan dan keharmonisan relasi tersebut. Oleh sebab itu perkawinan poligami dan marimbang sangat tidak diharapkan.
Jikalau sifat monogami ini tidak dipertahankan maka perkawinan pariban tidak dapat mewujudkan hakekatnya yaitu untuk mewujudkan keharmonisan dalam keluarga. Nilai yang selalu diajarkan kepada kedua mempelai yaitu agar mereka tetap mempertahankan cinta yang telah bersemi di dalam lubuk hati mereka, satu dalam untung dan malang, sebab mereka diperuntukkan agar cinta dan persaudaraan semkain nyata dan hadir dalam keluarga mereka. Jika salah satu pihak menceraikan diri, maka yang akan menerima efek dan dampaknya adalah keluarga pemberi perempuan dan laki-laki. Sehingga ada peribahasa “tinallik dangka ni hau, mambaen halak-halak, asalma uli di ahu na roa pe i taho di halak.” Artinya biarlah gadis atau pariban yang saya cinta ini jelek, tetapi dia manis dalam pandanganku.
Percerian perkawinan pariban merupakan aib atau hal yang tabu. Perceraian ini identik dengan membuat jurang pemisah antara antara keluarga saudara ibu dengan keluarga sadari ayah. Hal ini sesuai dengan ajaran perkawinan Katolik yang mengatakan bahwa sifat-sifat hakiki perkawinan ialah monogam dan tak terputuskan, yang dalam perkawinan kristiani memperoleh pengukuhannya atas dasar Sakramen (kanon 1056). Gereja menekankan monogami atas dasar bahwa kesejahteraan suami isteri dan anak hanya dapat terwujud dengan pemberian cinta yang utuh. Dalam perkawinan pariban, pemberiancinta yang utuh ini menjadi kunci penting. Cinta yang utuh ini tidak hanya memberi dampak positif terhadap suami-isteri tetapi bagi pihak keluarga mereka berdua. Mengenai karakter monogami ini secara tegas dikatakan dalam kitab kejadian bahwa setiap wanita dan pria yang menikah mereka tidak lagi menjadi dua tetapi satu. Kata satu disini bukan mengarah pada pengertian bilangan matematis tetapi satu mengarah pada keutuhan, ketakterpecahan, keharmonisan.
Dalam tata perundang-undangan perkawinan RI, No. 1 tahun 1974 mengatakan: 1). Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.(2). Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan. Secara tegas undang-undang tersebut mengharapkan agar perkawinan selalu mengusahakan pada semangat monogami. Meskipun di satu sisi undang-undang tersebut memberi ijin perkawinan poligami dengan suatu syarat khusus yaitu suami harus mampu menafkahi isteri yang kedua.
Lalu bagaimana suku Batak Toba memandang aturan ini? pada hakekatnya suku Batak Toba secara khusus perkawinan pariban selalu menjunjung perkawinan monogami karena hal ini berkaitan dengan perwujudan keutuhan keluarga. Dasar perkawinan paribana dalah agar relasi antara keluaga saudara ibu dengan saudari ayah semakin dipererat. Jikalau perkawinan pariban ini bercerai maka hakekat perkawinan itu menjadi bumerang bagi seluruh keluarga. Oleh sebab itu salah satu alasan Gereja memberi dispensasi terhadap perkawinan pariban adalah karakter atau sifat monogami sangat dijungjung tinggi.
- Tak terputuskan (indissolubilitas, indissolubility)
Dalam gereja Katolik, sifat perkawinan yang tak terputuskan selalu menjadi bagian dari pewartaan. Hal ini berkaitan dengan gambaran perkawinan yang mengambil model antara relasi Yesus dengan Gereja. Yesus tetap mempertahankan kesatuan dengan GerejaNya karena Yesus ingin memberikan cinta sehabis-habisnya bagi umat manusia yaitu Gereja. Bagi Yesus, Gereja harus dicintai secara optimal, agar Gereja menyadari bahwa ternyata cinta Allah melebihi cinta manusia. Oleh sebab itu, perkawinan kristiani selalu mengambil model relasi Kristus dengan Gerejanya.
Seperti yang dijelaskan dalam unitas atau kesatuan, perkawinan pariban pada prinsipnya menjunjung tinggi sifat tak terputuskan ini. Atas dasar karakter sosial dari perkawinan pariban itu sendiri. Perkawinan pariban bertujuan untuk mewujudkan karakter keharomonisan dalam keluarga oleh sebab itu setiap anak yang mau melangsungkan perkawinan pariban harus menyadari karakter sosial perkawinan tersebut. Jikalau putra dari saudari ayah meninggalkan putri saudara ibu, maka putra anak dari saudarai ayah tersebut tidak menjunjung tinggi pihak pemberi perempuan yang diyakini sebagai hula-hula atau pemberi berkat. Dengan kata lain, putra saudari ayah tersebut mengingkari janji dan menolak berkat bagi kehidupannya.
Filsafat perkawinan orang Batak Toba berbunyi “sidangka ni aring-aring, na so tupa sirang, saleleng hosa digomgom badan.” Artinya suami isteri tidak boleh bercerai selama hidupnya. Selain itu ada juga filsafat yang berbunyi dang tarsirang aek sian parbue artinya tidak dapat dipisah air dari beras. Arti perumpaman tersebut hendak menerangkan bahwa jika air dicampur dengan beras dan dimasak maka terjadilah nasi, dan bagaimanapun usaha orang, namun nasi itu tetaplah tinggal satu artinya tidak dapat dipisah lagi dari beras. Demikianlah laki-laki dan wanita yang dipersatukan dengan perkawinan yang sah menjadi satu rumah tangga yang tidak dapat dipisahkan. Perumpamaan tersebut selalu diungkapkan dalam perkawinan Batak Toba Toba, termasuk juga perkawinan pariban, dan kata-kata itu menjadi penekanan yang sungguh kuat.
Jadi terlihat secara jelas bahwa, bahwa adat Batak Toba tidak boleh menceraikan perkawinan dengan putri yang bukan anak saudara ayah maupun perkawinan pariban. Karena itu setiap laki-laki atau putra dari saudari ibu yang mau bercerai tidak menyampaikan permohoan itu kepada majelis adat, karena ia tahu bahwa permohonan itu akan ditolak. Lalu apakah ada perceraian perkawinan dalam budaya Batak Toba? Saya dapat menyebut ada. Tetapi perceraian itu terjadi bukan atas legitimasi adat atau seluruh pihak keluarga saudara ibu dan saudari ayah, tetapi perceraian itu dilakukan secara diam-diam.
Oleh sebab itu salah satu alasan gereja Katolik memberi dispensasi terhadap perkawinan pariban adalah karena perkawinan pariban menjunjung perkawinan yang tak terputuskan (indissolubilitas). Hal ini sesuai pula dengan pemikiran St. Agustinus tentang perkawinan, dia mengatakan bahwa perkawinan itu adalah bonum sacramenti yaitu suatu perkawinan yang tidak dapat diceraikan karena Kristus yang mempersatukannya.
V. Tindakan Pastoral
Mengenai tindakan pastoral perkawinan pariban ini, secara tegas Gereja menuliskannya dalam KHK 1063, 1-4 dituliskan sbb:
Para gembala jiwa-jiwa wajib mengusahakan agar komunitas gerejawi masing-masing memberikan pendampingan kepada umat beriman krsitiani, supaya status perkawinan dipelihara dalam semangat kristiani serta berkembang dalam kesempurnaan. Pendampingan itu terutama harus diberikan:
- Kotbah
Kotbah adalah sarana yang tampan untuk menyuarakan moral-moral kehidupan. Oleh sebab itu, hendaknya kotbah disusun sedemikian baik agar kotbah tersebut memiliki dampak atau pengaruh bagi umat yang mendengarnya. Karena kotbah bercorak sosial yaitu kotbah bukan hanya diperuntukkan untuk diri pengkotbah tetapi juga untuk individu-individu lain. Pengkotbah hendaknya menyadarkan umat akan pentingnya keluarga Katolik yang sejahtera dan harmonis. Salah satunya adalah dimana keluarga tersebut memiliki ketahanan hidup karena memiliki kesehatan fisik dan mental yang baik. Salah satuunya adalah menghindarkan perkawinan pariban atau meminimalisasinya.
Dalam kesempatan ini, hendaknya pengkotbah membahasakan kotbah tersebut dengan bahasa yang tidak bernada menghakimi terhadap nilai-nilai sebuah budaya. Karena jika pengkotbah menghakimi nilai-nilai luhur sebuah budaya maka umat akan mencari benteng pembelaan dan kotbah tersebut pada akhirnya tidak memiliki kesakralan, dan tidak mempunyai pengaruh.
- Katekese
Gereja harus berani mengatakan kebenaran bahwa perkawinan pariban dapat menimbulkan penyakit genetik. Memang penyakit genetik perkawinan pariban lebih kecil kemungkinan yang diakibatkannya daripada perkawinan dalam garis keturunan lurus maupun garis keturunan menyamping tingkat kedua dan ketiga. Mengenai larangan ini telah dituliskan dalam kitab Hukum Kanonik (KHK) 1091,1-2) yang berbunyi: tidak sahlah perkawinan antara orang-orang yang berhubungan darah dalam garis keuturuna ke atas atau ke bawah baik yang legitim mapun yang alami dan tidak sahlah perkawinan dalam gariss keturunan menyamping tingkat keempat.
Larangan ini juga dipertegas dalam undang-undang perkawinan RI yang mengatakan larangan atas perkawinan: a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Gereja harus selalu menyadarkan Suku Batak Toba maupun suku lain agar lebih membuka perkawinan yang lebih bersifat terbuka terhadap suku lain. Hal ini akan lebih memudahkan tidak terjadinya perkawinan incest. Selain itu unsur sosialitasnya jauh lebih tinggi. Karena individu yang bersangkutan membuka diri terhadap suku lain.
- Persiapan perkawinan (Kursus Perkawinan)
Gereja menyadari bahwa Sakramen Perkawinan merupakan sarana penyelamatan umat manusia. Oleh sebab itu agar sakaramen ini dapat dimaknai secara baik oleh umat beriman Gereja telah mengharuskan umat Katolik yang hendak menikah untuk mengikuti kursus perkawinan. Kesepakatan nikah harus didasari atas kesadaran yang penuh oleh calon-calon yang hendak menerima Sakramen perkawinan. Atas kesadaran inilah, kedua belah pihak dapat melangsungkan perkawinan tersebut sesuai dengan tujuannya untuk kesejahteraan suami-isteri dan anak-anak.
Untuk memperoleh kesadaran tersebut, dalam kursus perkawinan, biasanya disediakan tema-tema seperti: Perkawinan sebagai Sakramen, moral perkawinan, doa dan kitab suci dalam keluarga, KBA ( Keluarga Berencana Alami), Management Keuangan, dsb. Dalam perkawinan ini juga perlu disadarkan sefek-efek yang ditimbulkan oleh perkawinan hubungan darah. Gereja harus kembali menyadarkan umat beriman bahwa larangan Gereja agar umatnya tidak melakukan pernikahan dalam hubungan darah. Halangan atau larangan ini bersifat edukatif yaitu agar terwujudnya nilai moralitas dan menjada kesakralan perkawinan tersebut. Perkawinan hubungan darah dapat mengakibatkan berbagai macam penyakit.
Gereja juga harus menyadarkan bahwa pelarangan perkawinan pariban bukan bermaksud menghilangkan atau meredukdsi nilai-nilai luhur budaya Batak Toba. Pada prinsipnya nilai-nilai budaya tersebut baik sejauh hal itu memberikan konstribusi positif dalam membangun manusia yang utuh. Dan jikalau perkawinan ini telah dilangsungkan hendaknya suami-isteri tetap mempertahankan ajaran-ajaran moral perkawinan Katolik dan nilai-nilai budaya Batak Toba.
- Perayaan liturgi perkawinan
Pada dasarnya perayaan liturgi perkawinan bertujuan untuk menyadarkan umat beriman bahwa perkawinan yang akan dilangsungkan berasal dari Allah. Demikian juga upaca liturgi dalam perkawinan pariban hendaknya bahwa cinta yang mereka berikan adalah cinta Allah oleh sebab itu cinta itu harus tetap dijaga dan bersifat kekal. Oleh sebab itu perkawinan dan janji tersebut harus diungkapkan dalam situasi yang sakral.
- Bantuan-bantuan lain
Agar larangan perkawinan pariban ini dapat dimaknai secara positif oleh umat beriman, keuskupan, paroki-paroki setempat harus selalu mensosialisasikan dampak yang diakibatkan perkawinan tingkat keempat ini. Salah satunya adalah menyediakan, buletin/majalah, biro-biro konsultasi kesehatan keluarga agar umat dapat mengakses informasi yang cepat dan tepat mengenai dampak perkawinan pariban.
VI. Penutup
Perkawinan pariban adalah perkawinan yang masuk dalam kategori halangan yang dapat didispensasi. Adapun Gereja mendispensasi perkawinan pariban atas dasar efek yang diakibatkannya jauh lebih ringan daripada perkawinan dalam garis keturunan ke atas dan menyamping tingkat kedua dan ketiga. Selain itu, Gereja menghargai nilai-nilai filsafat yang terkandung dalam perkawinan pariban tersebut yaitu agar semakin terwujud relasi kekerabatan yang penuh cinta dan bersatu padu. Dan perkawinan pariban ini juga mendukung sifat-sifat perkawinan Katolik yaitu monogami, tak terputuskan dan mendukung tujuan perkawinan Katolik yaitu mewujudkan keluarga yang sejahtera dan harmonis bagi suami-istri dan anak.
Daftar Pustaka
I.Buku utama
Catur Raharso, Alf, Pr, Halangan Nikah dalam Hukum Perkawinan Katolik, Malang: Dioma, 2004
___________________Paham Perkawinan dalam Hukum Gereja Katolik, Malang: Dioma, 2006
___________________Kesepakatan Nikah dalam Hukum Perkawinan Katolik, Malang: Dioma, 2008
KWI, Kitab Hukum Kanonik, Jakarta: KWI, 2006.
II.Buku Sekunder
Fink Hans, Filsafat Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Klein Paul, Kebebasan Kreatif Menurut Nikolay Berdiayev, Ledalero: Ledalero, 2008.
Marbun, M.A. (dkk), Kamus Budaya Batak Toba Toba Toba, Jakarta: Balai Pustaka, 1987.
Mead, Margaret, Culture and Comitment, New York: Anchor Books, 1978.
Nggoro, Adi, M., Budaya Manggarai Selayang Pandang, Ende: Nusa Indah.
Sinaga, Anisetus. B., OFM Cap, Dendang Bakti (Inkulturasi Teologi dalam Budaya Batak Toba Toba), Medan: Bima Media Perintis, 2004.
Simanjuntak Antonius Bungaran, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba Toba Toba, Jakarta: Obor, 2006.
__________________________ Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba Toba Toba, Yogyakarta: Jendela, 2002.
Siregar, M.T, Ulos dalam Tata Cara Adat Batak Toba Toba, Jakarta: Tanpa Penerbit, 1985.
Shadily Hasan, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
Suseno, Franz Magnis, SJ dan Reksosusilo, CM, Etika Jawa dalam Tantangannya, Yogyakarta: Kanisius, 1983.
Vergouwen J.C, Masyarakat dan Hukum Batak Toba Toba Toba, Yogyakarta: LKiS, 2004.
III.Internet
http://sijaribu.wordpress.com/2008/09/08/perkawinan-sedarah.
http://www.rahima.or.id/SR/08-03/Opini1.htm
Http://amrimunthe.wordpress.com/2008/05/19/sejarah-orang-Batak Toba Toba
[1] Bungaran Antonius Simanjuntak, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba, Jakarta: Obor, 2006, hal.25-26.
[2] J.C Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Batak Toba, Yogyakarta: LKiS, 2004, hal. x-xi.
[3] Http://amrimunthe.wordpress.com/2008/05/19/sejarah-orang-Batak
[4] Hasn Fink, Filsafat Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal. 51.
[5] Bungaran Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, Yogyakarta: Jendela, 2002, hal. 183.
[6] Hasan Shadily, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hal, 144.
[7] M.A. Marbun (dkk), Kamus Budaya Batak Toba, Jakarta: Balai Pustaka, 1987, hal. 13.
[8] Paul Klein, Kebebasan Kreatif Menurut Nikolay Berdiayev, Ledalero: Ledalero, 2008, hal. 200.
[9] Saat ini prinsip hagabeon mengalami multi tafsir secara khusus sesudah Gereja Katolik hadir di tanah Batak. Gereja Katolik menafsirkan ulang prinsip tersebut karena prinsip hagabeon mengandung kesempitan makna secara khusus tidak memberikan ruang terhadap kehidupan selibat para rohaniawan/i. Penafsiran ulang ini bukan didasari sikap rasionalisasi tetapi atas dasar usaha mencari nilai yang bersifat objektif yaitu suatu nilai yang dapat diterima oleh banyak orang. Usaha ini telah dirintis oleh Mgr. Anicetus Sinaga. Beliau mengatakan bahwa prinsip hagabeon tidak diperuntukkan kepada semua orang Batak Toba. Hal ini didasari dari cerita rakyat orang Batak Toba mengenai si Raja Inda-inda si Raja Inda Pati. Mgr. Anicetus mengatakan bahwa si Raja Inda-inda si Raja Inda-pati adalah seorang Imam yang perawan dan menjadi perantara antara manusia dengan Pencipta (Mula Jadi Na bolon). Si Raja Inda-inda si Raja Inda-pati tersebut selalu dirayu oleh perempuan-perempuan cantik tetapi tak satupun yang mampu meluluhlantahkan tekadnya untuk menjadi imam yang tetap perawan. Bdk. Mgr. Dr. Anisetus. B. Sinaga, OFM Cap, Dendang Bakti (Inkulturasi Teologi dalam Budaya Batak), Medan: Bima Media Perintis, 2004, hal. 256-262.
[10] A.N. Parda Sibarani, Umpama Batak Toba dohot Lapatanna, P. Siantar: Parda, 1976, hal. 109.
[11] Jenis-jenis perkawinan orang Batak yaitu: perkawinan lari, lari atas tujuan bersama, dengan godaan, dengan mengabdi, levirat, saudara perempuan. (Bdk. J. C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Yogyakarta: LKiS, 2004, hal. 199-200).
[12] Bungaran Simanjuntak, Op.cit., hal. 188.
[13] Margaret Mead, Culture and Comitment, New York: Anchor Books, 1978, hal. 79-80.
[14] Suku Manggarai juga memiliki tradisi yang sama dengan suku Batak yaitu memiliki pandangan bahwa perkawinan ideal adalah perkawinan yang terjadi antara putri saudara ibu dengan putra saudari ayah. Bagi orang Manggarai perkawinan pariban disebut dengan perkawinan tungku cu’u. adapun tujuan orang Manggarai melangsungkan perkawinan ini adalah untuk menyambung kembali atau untuk semakin kuatnya hubungan kekerabatan anak wina dan akan rona (bdk . Adi M. Nggoro, Budaya Manggarai Selayang Pandang, Ende: Nusa Indah, 2006). Kesukupan Ruteng dalam menanggapi maraknya perkawinan tungku cu’u ini mulai menyadarkan melalui katekese-katekese tentang efek yang ditimbulkannya. Uskup Eduardus Sangsung, SVD sebagai uskup keuskupan Ruteng yang meliputi seluruh daerah Manggarai, setiap lima tahun sekali, beliau atas nama keuskupan selalu memberi dispensasi berupa memberikan pemberkatan massal terhadap keluarga-keluarga yang telah melakukan perkawinan tungku cu’u ini. Sebagai salah satu persyaratan pasangan tungku cu’u diberkati, Gereja memberikan denda kepada mereka berupa uang minimal Rp. 300.000, per kepala keluarga. Gereja Katolik memberi dispensasi ini atas dasar pertimbangan manusiawi bahwa mereka (pelaku tungku cu’u), adalah orang yang melakukan hal tersebut karena budaya mengijinkannya. Oleh sebab itu atas dasar pertimbagan kemanusiaan dan alasan yang logis uskup memberikan dispensasi terhadap mereka.
[15]Dr. Alf. Catur Raharso, Pr, Halangan-halangan Nikah Menurut Hukum Gereja Katolik, Malang: Dioma, 2006, hal. 114.
[16] Ibid.
[17] Ibid, hal. 111.
[18] http://sijaribu.wordpress.com/2008/09/08/perkawinan-sedarah.
[19]http://www.rahima.or.id/SR/08-03/Opini1.htm
[20] Ibid, hal. 30.
[21]Dr. Alf. Catur Raharso, Kesepakatan Nikah dalam Hukum Perkawinan Katolik, Malang: Dioma, 2008, hal 49.
[22] Ibid, hal 48.
[23]Dr. Alf. Catur Raharso, Halangan-halangan Nikah Menurut Hukum Gereja Katolik, Loc. it, hal. 112.
[24] J. C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Batak Toba, Yogyakarta: LKiS, 2004, hal. 42.
[25] Partuturan berasal dari kata dasar tutur artinya teratur, tertib sehingga partuturan adalah tata hubungan kekerabatan dalam budaya Batak Toba. (bdk. M. A. Marbun (dkk), Kamus Budaya Batak Toba, Jakarta: Balai Pustaka, 1987, hal 135).
[26] J. C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Batak Toba, Yogyakarta: LKiS, 2004, hal 42.
[27] M.T. Siregar, Ulos dalam Tatacara Adat Batak, Jakarta:---, 1985, hal.55
[28] Ibid
[29] Orang jawa mengenal prinsip kerukunan. Dalam etika dan filsafat Jawa Pinsip kerukunan merupakan sesuatu yang niscaya, dalam etika dan filsafat tersebut dijelaskan bahwa orang Jawa berusaha untuk menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat, antar pribadi hingga hubungan-hubungan social tetap kelihatan baik dan harmonis. Prinsip kerukunan ini pasti meresap dalam kehidupan keluarga, yang mengarahkan para anggotanya untuk tetap menjaga keharmonisan dan keutuhan satu sama lain Bdk.Dr. Phil. Franz Magnis Suseno, SJ dan Dr. Reksosusilo, CM, Etika Jawa dalam Tantangannya, Yogyakarta:Kanisius, 1983, hal. 86.
2 komentar:
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)
Best 10 Casinos Near Me (2021) | by State - OK Casino
The following 승인전화없는 사이트 list 수 있습니다 is a list of all Casinos bet365 near me in 2021 온라인 슬롯머신 that offer gaming and 1xbet app gaming machines. 10 Casinos Near Me · Mohegan Sun · Atlantic City
Posting Komentar